
Borneo Forum 2025: Geliat Sawit Kalimantan di Tengah Badai Tantangan Global
Pontianak – Pagi tadi 21 Agustus 2025, langit Kota Pontianak bagai menumpahkan rahasia. Hujan deras mengguyur bumi Khatulistiwa sejak fajar, seolah ikut mencuci lelah tanah gambut dan perkebunan sawit yang membentang di segala penjuru Kalimantan Barat.
Namun, rintik air yang menggigit tak cukup ampuh untuk menghalangi semangat ratusan orang yang berkumpul di salah satu forum paling strategis bagi masa depan industri sawit Indonesia Borneo Forum ke-8.
Di sebuah gedung besar yang dipenuhi spanduk, layar LED, dan aroma kopi robusta khas Kalbar, sekitar 600 peserta berdatangan.
Mulai dari para pengusaha kelapa sawit, akademisi, pejabat pemerintahan, hingga pelaku usaha UMKM, semua hadir dengan satu tujuan menentukan arah masa depan industri kelapa sawit Indonesia. Pontianak sore itu mendadak menjelma menjadi panggung konsolidasi besar-besaran.
“Ini tahun kedelapan penyelenggaraan Borneo Forum, dan kami diamanahkan menjadi tuan rumah,” ujar Ketua Panitia Borneo Forum 2025, Purwati Munawir, dengan nada bangga yang nyaris menyembunyikan rasa letih.
Dalam forum ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) se-Kalimantan memegang kendali.
Ada satu pesan penting, tidak lagi bicara soal bisnis semata, melainkan masa depan ekosistem sawit Indonesia.
Dengan 24 peserta pameran dari berbagai perusahaan, UMKM, dan media, Kota Pontianak bukan hanya menjadi tempat pertemuan, melainkan juga pusat pertukaran ide, inovasi, dan kolaborasi.
Purwati bahkan menekankan betapa pentingnya kampanye digital positif untuk membumikan citra sawit Indonesia di mata dunia.
Di era informasi, perang bukan lagi di ladang perkebunan, melainkan di layar ponsel dan ruang percakapan daring.
Sawit Penyelamat Ekonomi
Sosok Eddy Martono, Ketua Umum GAPKI, berdiri di podium dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Ia memulai sambutannya dengan kalimat tajam.
“Sawit sudah tiga kali menyelamatkan perekonomian negeri ini. Saat krisis 1998, badai global 2008, dan ketika pandemi Covid-19 melumpuhkan dunia, sawitlah yang berdiri tegak,” ucap Eddy Martono menjelaskan.
Ada 749 perusahaan anggota GAPKI di seluruh Indonesia dengan total lahan mencapai 3,7 juta hektare angka yang membentuk sekitar 30 persen dari total 2.281 perusahaan sawit menurut data BPS 2023.
Namun, faktanya di Kalimantan Barat sendiri, dari 325 perusahaan, hanya 78 yang tergabung dalam GAPKI. Sebuah PR besar yang belum terselesaikan.
Eddy menegaskan satu hal, momentum tidak boleh hilang. Perang tarif global justru memberi ruang lebih lebar bagi Indonesia untuk memimpin pasar sawit dunia.
Tapi keberhasilan itu hanya bisa dicapai jika tata kelola dikelola lebih rapi, transparan, dan inklusif.
PR Besar Sawit
Dalam forum ini, salah satu isu paling panas adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Eddy menyebut bahwa progresnya masih lambat, dan ini menjadi tantangan nyata bagi seluruh pemangku kepentingan.
“Kalau PSR ini berjalan optimal, masyarakat kecil yang bergantung pada sawit akan lebih sejahtera,” ujarnya.
Program PSR tak hanya bicara soal produktivitas. Lebih jauh, ini soal keadilan ekonomi. Saat sawit dituding merusak lingkungan, di sisi lain jutaan keluarga petani menggantungkan hidup pada komoditas emas hijau ini.
GAPKI mendorong sinergi lebih erat antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk mempercepat program ini.
Borneo Forum dan Jejaring
Borneo Forum bukan satu-satunya, wadah bagi kegiatan dan pertemuan regional anggota GAPKI untuk konsolidasi.
Ada Andalas Forum di Sumatera. Semua forum ini ibarat jaring laba-laba besar yang menghubungkan industri sawit dengan kebijakan negara.
Eddy menegaskan, forum seperti ini adalah kesempatan emas untuk memberi masukan langsung kepada pemerintah. Borneo Forum 2025 sendiri menjadi bukti bahwa Kolaborasi lintas sektor bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
Kolaborasi Pemerintah dan Industri
Tak hanya GAPKI yang bersuara, pemerintah pun menunjukkan keseriusannya. Baginda Siagian, Direktur Tanaman Kelapa Sawit Kementerian Pertanian, menegaskan bahwa pemerintah akan tetap mendukung industri sawit sebagai salah satu penopang utama ketahanan pangan nasional.
Dukungan serupa datang dari Christianus Lumano, Staf Ahli Gubernur Kalimantan Barat. Ia mengingatkan bahwa di balik tantangan global, potensi sawit di Kalbar masih sangat besar.
Jika dikelola dengan bijak, sawit tak hanya memperkuat ekonomi, tapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Tantangan Masa Depan Sawit
Borneo Forum ke-8 bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah peta jalan yang menyatukan berbagai perspektif dari pengusaha besar, pemerintah, akademisi, hingga masyarakat adat dan petani kecil.
Tantangannya jelas:
- Isu deforestasi dan keberlanjutan
- Ketahanan pangan dan energi
- Transparansi tata kelola
- Perlindungan petani kecil
- Percepatan Peremajaan Sawit Rakyat
Namun, optimisme terasa di udara Pontianak. Seolah ada janji baru yang sedang dirangkai masa depan sawit tak hanya soal bisnis, tapi tentang menjaga keseimbangan bumi, manusia, dan ekonomi.***